JAKARTA, incaresidence.co.id – Membeli rumah bukan hanya soal menyiapkan dana untuk harga properti atau mengurus KPR. Di balik proses legalitasnya, ada satu komponen penting yang wajib diketahui calon pemilik rumah: BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Meski terdengar teknis, memahami BPHTB adalah kunci agar transaksi properti berjalan lancar dan bebas risiko hukum.
Sering kali, calon pembeli hanya fokus pada biaya pokok dan cicilan, lalu kaget saat dihadapkan dengan berbagai biaya tambahan, salah satunya BPHTB. Padahal, pajak ini merupakan syarat sah untuk pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Tanpa pelunasan BPHTB, proses balik nama sertifikat bisa tertunda bahkan dibatalkan. Lantas, apa sebenarnya BPHTB itu, siapa yang wajib membayar, dan bagaimana cara menghitungnya?
Pengertian BPHTB dalam Transaksi Properti
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan ini bisa terjadi karena jual beli, hibah, warisan, tukar-menukar, pelepasan hak, atau bahkan lelang. Dasar hukum pungutan ini tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sejak diberlakukannya UU tersebut, BPHTB menjadi pajak daerah, bukan lagi pajak pusat. Itu artinya, pemerintah kota atau kabupaten berwenang mengatur tata cara pembayaran, tarif, serta batasan nilai tidak kena pajak (NPOPTKP) untuk wilayahnya masing-masing.
Misalnya, NPOPTKP di Jakarta bisa berbeda dengan Surabaya, begitu pula sistem pelaporannya. Karena itu, penting untuk mengecek regulasi daerah setempat sebelum melakukan transaksi properti.
Siapa yang Wajib Membayar BPHTB?
Dalam praktiknya, pihak penerima hak atau pembeli properti adalah yang berkewajiban membayar BPHTB. Namun, hal ini bisa dinegosiasikan dalam akad atau perjanjian jual beli, tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Berikut skenario umum wajib pajak BPHTB:
- Jual beli rumah → pembeli membayar BPHTB
- Hibah waris → penerima hibah atau ahli waris membayar BPHTB
- Tukar menukar → pihak yang menerima hak atas tanah/bangunan membayar
- Lelang → pemenang lelang membayar
Tanpa bukti pelunasan BPHTB, akta jual beli tidak bisa diterbitkan oleh notaris atau PPAT, dan proses balik nama sertifikat pun tidak dapat dilakukan di kantor pertanahan.
Cara Menghitung BPHTB
PerhitunganBPHTB relatif sederhana, dengan rumus dasar sebagai berikut:
BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)
Keterangan:
- NPOP = Nilai Perolehan Objek Pajak (biasanya harga jual rumah atau nilai pasar tertinggi)
- NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (ditetapkan oleh Pemda, bisa berbeda tiap wilayah)
Contoh simulasi:
- Harga rumah: Rp700.000.000
- NPOPTKP daerah: Rp60.000.000
- Maka NPOP = Rp700.000.000
- BPHTB= 5% x (700.000.000 – 60.000.000)
- BPHTB= 5% x Rp640.000.000 = Rp32.000.000
Nilai ini wajib dibayarkan melalui bank atau sistem yang ditunjuk oleh Pemda sebelum proses balik nama bisa dilakukan.
Prosedur PembayaranBPHTB
Setiap daerah memiliki sistem dan tahapan berbeda, namun secara umum, langkah-langkah pembayaran BPHTB adalah sebagai berikut:
- Mengisi formulir SSPDBPHTB secara online melalui situs Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) atau datang langsung ke kantor pajak daerah.
- Mengajukan permohonan validasi dengan menyertakan dokumen pendukung seperti KTP, akta jual beli, sertifikat, dan SPPT PBB.
- Mendapatkan hasil validasi berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD).
- Melakukan pembayaranBPHTB melalui bank atau layanan online yang ditentukan.
- Membawa bukti bayar ke PPAT atau notaris sebagai syarat proses balik nama.
Beberapa daerah sudah menggunakan sistem digital yang memudahkan proses validasi dan pelaporan, meskipun sebagian masih mengharuskan pengurusan manual dengan datang langsung.
Apakah BPHTB Berlaku untuk Rumah Subsidi?
Ya, BPHTB juga berlaku untuk rumah subsidi, namun ada kebijakan pembebasan atau pengurangan tergantung aturan pemerintah daerah dan skema rumah subsidi nasional. Biasanya, rumah dengan harga di bawah batas tertentu bisa mendapat pembebasanBPHTB secara otomatis atau dengan mengajukan permohonan khusus.
Sebagai contoh, di beberapa kota, rumah subsidi dengan harga di bawah Rp150 juta bisa mendapat NPOPTKP sebesar 100%, sehinggaBPHTB-nya menjadi nol rupiah.
Risiko JikaBPHTB Tidak Dibayar
Mengabaikan kewajiban BPHTB bisa menimbulkan dampak serius, seperti:
- Gagal balik nama sertifikat di kantor pertanahan
- Sanksi administratif berupa denda atau bunga
- Kendala saat menjual kembali properti karena status legalitas belum lengkap
- Masalah hukum jika terjadi sengketa kepemilikan
Karena itu, penting memastikan bahwaBPHTB telah dilunasi dan didokumentasikan dengan baik dalam proses pembelian properti apa pun.
Penutup: Pahami Sebelum Membeli
BPHTB memang bukan biaya utama dalam membeli rumah, tetapi tanpa pemahaman dan pengelolaan yang baik, pajak ini bisa menjadi batu sandungan yang menghambat proses legalitas properti. Dengan memahami fungsi, cara hitung, dan cara bayarBPHTB, calon pembeli bisa lebih siap dan tidak lagi terjebak biaya tersembunyi yang tidak diantisipasi.
Bagi siapa pun yang sedang atau akan membeli rumah, menyisihkan waktu untuk mempelajari pajak ini adalah investasi kecil untuk menghindari kerugian besar di masa depan.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Seputar Residence
Baca juga artikel lainnya: Konsep Hunian modern yang nyaman, efisien, dan estetis




