Jakarta, incaresidence.co.id – Bagi banyak orang, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol stabilitas, prestasi hidup, bahkan impian yang tak mudah dicapai. Tapi di balik emosi itu, ada satu aspek yang sering luput dilihat: statistik perumahan.
Angka-angka ini sejatinya tak hanya mengukur jumlah unit rumah. Ia merefleksikan ketimpangan, urbanisasi yang liar, program pemerintah yang belum tuntas, dan harapan jutaan keluarga muda yang masih menanti kesempatan punya rumah layak.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian PUPR, backlog atau kekurangan rumah di Indonesia pada beberapa tahun terakhir berada di angka 12,7 juta unit. Angka ini berarti ada jutaan keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni atau masih menumpang.
Anekdot fiktif: Dini, 28 tahun, pegawai swasta di Bekasi, sudah lima tahun menikah dan masih tinggal di kontrakan. “Bukan karena nggak mau nyicil rumah, tapi harga rumah naik terus, gaji stagnan, dan pengajuan KPR ditolak bank. Padahal tiap hari lihat iklan rumah subsidi.” Cerita seperti Dini bukan kasus langka. Ia tercermin dalam statistik perumahan yang menyimpan banyak kisah tersembunyi.
Membaca Data Statistik Perumahan Indonesia
Bicara statistik perumahan, kita akan bertemu dengan sejumlah indikator penting: backlog, jumlah rumah tangga, persentase kepemilikan rumah, rumah tidak layak huni (RTLH), hingga persebaran wilayah hunian.
1. Backlog Perumahan
Backlog adalah selisih antara jumlah rumah tangga dan jumlah rumah layak huni. Hingga pertengahan dekade ini, backlog perumahan masih tinggi meski ada berbagai program subsidi.
-
Total backlog: ±12,7 juta unit
-
Distribusi tertinggi: wilayah urban padat seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, dan Makassar
-
Penyebab utama: urbanisasi cepat, harga lahan mahal, dan keterbatasan akses KPR.
2. Tingkat Kepemilikan Rumah
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa kepemilikan rumah di Indonesia mengalami tren menurun untuk generasi muda.
-
Generasi milenial (25–39 tahun): hanya ±35% yang telah memiliki rumah
-
Generasi Z: mayoritas masih menumpang, seiring makin lambatnya daya beli.
3. Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
Berdasarkan data Kementerian PUPR, masih terdapat sekitar 2,5 juta unit RTLH di seluruh Indonesia, dengan sebaran dominan di kawasan pedesaan, daerah tertinggal, dan pesisir.
Kriteria RTLH mencakup:
-
Konstruksi rapuh
-
Ventilasi buruk
-
Tidak memiliki sanitasi dasar
-
Risiko tinggi terhadap bencana
Urbanisasi dan Ledakan Permintaan Perumahan
Indonesia mengalami urbanisasi masif dalam dua dekade terakhir. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar menjadi magnet urban, dan itu membawa implikasi serius terhadap statistik perumahan.
1. Urban Sprawl dan Kebutuhan Hunian Baru
Laju urbanisasi mencapai lebih dari 55% dari total populasi. Artinya, separuh lebih warga Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan.
Konsekuensinya:
-
Permintaan hunian meningkat drastis
-
Harga tanah melonjak
-
Munculnya kawasan pinggiran baru (suburban) seperti Cibubur, Bintaro, hingga Gresik
2. Fenomena Vertical Housing
Tren hunian vertikal seperti apartemen dan rusunawa mulai menggeliat, meski belum menyamai negara maju. Namun, statistik menunjukkan bahwa 80% masyarakat urban tetap lebih memilih rumah tapak karena budaya dan persepsi investasi.
3. Konversi Lahan dan Tekanan Lingkungan
Pembangunan masif berdampak pada alih fungsi lahan pertanian dan kawasan hijau. Beberapa data menyebutkan lebih dari 150 ribu hektar lahan produktif di Jawa telah berubah jadi permukiman sejak 2010.
Program Pemerintah dan Dampaknya Terhadap Statistik
Pemerintah Indonesia punya sejumlah program strategis dalam urusan perumahan, terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Namun efektivitasnya sering kali tak sejalan dengan ekspektasi.
1. FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
Program ini menyediakan subsidi bunga KPR dengan tenor panjang dan cicilan rendah.
Statistik menunjukkan:
-
Lebih dari 300 ribu unit rumah FLPP terbangun dalam kurun 3 tahun terakhir
-
Namun, hanya sekitar 40% yang benar-benar tepat sasaran pada kelompok MBR
2. Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)
Biasa disebut “bedah rumah”, program ini menargetkan RTLH untuk direhabilitasi.
-
±200 ribu unit RTLH ditingkatkan setiap tahun
-
Namun tantangan muncul di lapangan: keterbatasan anggaran dan kendala verifikasi
3. Program Tapera
Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diharapkan bisa menjadi dana jangka panjang untuk pembiayaan perumahan nasional. Tapi implementasinya masih terbatas dan belum menyentuh semua sektor pekerja.
Anekdot: Pak Asep, buruh pabrik di Karawang, sempat daftar KPR FLPP, tapi gagal karena tidak lolos BI checking. “Katanya penghasilan saya nggak stabil. Tapi tiap bulan saya nabung, lho. Harusnya ada cara lain buat bantu pekerja informal kayak saya,” ujarnya.
Tantangan dan Solusi untuk Masa Depan Perumahan
Statistik perumahan tidak akan membaik dengan sendirinya. Butuh terobosan dari banyak pihak—pemerintah, pengembang, bank, dan tentu saja masyarakat itu sendiri.
1. Akses Pembiayaan Inklusif
Generasi muda dan pekerja informal sering tersingkir dari skema KPR karena status kerja atau penghasilan tak tetap. Solusi:
-
Penguatan skema rent-to-own
-
Kredit mikro perumahan
-
Koperasi perumahan komunitas
2. Desain Rumah Modular dan Terjangkau
Biaya konstruksi bisa ditekan dengan teknologi baru: rumah prefab, modular, dan zero-waste design. Ini sudah diterapkan di beberapa negara maju dan mulai diuji coba di proyek rusun milik pemerintah.
3. Digitalisasi dan Transparansi
Data statistik harus terbuka dan real-time. Pemerintah bisa membangun dashboard pemantauan hunian nasional untuk mempermudah pemetaan dan intervensi program bantuan.
4. Perubahan Budaya Konsumen
Generasi muda perlu diberi literasi perumahan: bahwa rumah tidak harus mewah, besar, atau berada di tengah kota. Prinsip “fungsional dan tumbuh bersama waktu” bisa menjadi narasi baru dalam kepemilikan hunian.
Penutup: Di Balik Statistik, Ada Harapan
Statistik perumahan tidak hanya soal angka rumah terbangun atau berapa juta orang belum punya hunian. Ia adalah cermin dari arah kebijakan, kemampuan ekonomi rakyat, dan prioritas pembangunan nasional.
Bagi mahasiswa, pekerja muda, atau siapa pun yang sedang berjuang menabung untuk rumah pertama, penting untuk melihat data ini sebagai landasan keputusan. Statistik bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyusun strategi.
Dan bagi pemangku kebijakan, statistik perumahan bukan sekadar laporan tahunan. Ia adalah panggilan untuk bergerak, membangun sistem yang lebih adil dan inklusif. Karena setiap angka dalam tabel itu… adalah manusia yang sedang menanti tempat yang bisa mereka sebut rumah.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Seputar Residence
Baca Juga Artikel Dari: Ruko Strategis: Investasi Cerdas di Lokasi Emas