Beberapa tahun lalu, hunian tinggi menjulang adalah simbol kesuksesan urban. Tapi sekarang, tren mulai bergeser. Semakin banyak orang muda yang justru mencari hunian modern yang… rendah. Tepatnya, apartemen low rise.
Waktu pertama kali dengar istilah ini, jujur saya sempat bingung. Low rise? Maksudnya kos-kosan? Tapi setelah main ke kawasan BSD dan beberapa titik di Bandung, saya sadar: low rise bukan hanya soal tinggi bangunan, tapi soal cara hidup.
Apartemen low rise adalah bangunan hunian bertingkat rendah, umumnya 2 hingga 5 lantai saja. Desainnya sering kali menyatu dengan lingkungan, lebih human scale, dan menawarkan atmosfer yang jauh dari hiruk-pikuk hunian vertikal tinggi.
Saya sempat ngobrol dengan Galuh, seorang UX designer yang pindah ke apartemen low rise di area Cilandak. “Awalnya cuma cari tempat tinggal dekat kantor. Tapi sekarang malah nggak mau pindah ke high-rise lagi. Rasanya lebih rumah, lebih nyaman, dan lebih… manusiawi.”
Dan memang, konsep low rise ini sedang naik daun, apalagi di kalangan milenial dan Gen Z yang mulai cari hunian pertama. Alasannya? Nanti kita bahas satu per satu. Tapi intinya: kalau kamu pikir apartemen modern harus tinggi menjulang dulu baru keren, mungkin artikel ini bisa jadi titik balik pandanganmu.
Keunggulan Apartemen Low Rise: Lebih dari Sekadar Jumlah Lantai
Bukan cuma karena lebih pendek, apartemen low rise punya banyak kelebihan yang menjadikannya alternatif menarik di tengah pasar properti yang semakin padat.
1. Privasi dan Ketentraman
Salah satu keluhan terbesar dari apartemen high-rise adalah suara—baik dari tetangga, lift, atau jalan raya. Di low rise, dengan jumlah unit yang lebih sedikit per bangunan, suasana jauh lebih tenang.
Anekdot: seorang teman saya pindah dari tower 35 lantai ke low rise 3 lantai di pinggiran Jakarta Selatan. “Dulu hampir tiap malam dengar suara piring jatuh atau tetangga cekcok. Sekarang? Cuma suara jangkrik dan kucing tetangga.”
2. Aksesibilitas Lebih Mudah
Nggak perlu tunggu lift 5 menit tiap mau turun beli makanan. Low rise biasanya dilengkapi tangga ringan atau lift kecil yang lebih efisien. Cocok buat kamu yang hobi gerak cepat.
3. Lebih Terhubung dengan Alam
Karena desainnya horizontal dan rendah, banyak apartemen low rise yang mengintegrasikan taman, cahaya alami, dan ventilasi silang. Udara segar dan sinar matahari jadi teman harian, bukan kemewahan.
4. Kepadatan Penduduk Lebih Rendah
Jumlah unit yang terbatas otomatis bikin tingkat hunian tidak terlalu padat. Hasilnya? Fasilitas seperti kolam renang, gym, atau ruang komunal bisa dinikmati dengan nyaman.
5. Estetika dan Komunitas Lebih Intim
Bangunan low rise cenderung punya desain yang lebih homy dan komunal. Penghuni jadi lebih mudah saling kenal. Cocok buat yang cari keseimbangan antara privasi dan koneksi sosial.
Fakta menarik: menurut laporan dari Urban Studies Jakarta, tren minat terhadap apartemen low rise meningkat 23% di kalangan first-time buyer usia 25–35 tahun dalam 3 tahun terakhir.
Cocokkah Low Rise untuk Semua Orang? Tantangan dan Pertimbangannya
Tapi, tentu saja, tak ada hunian yang sempurna. Apartemen low rise juga punya tantangan dan batasannya. Dan penting untuk memahaminya sebelum kamu memutuskan investasi atau tinggal di salah satu unitnya.
1. Lokasi Masih Terbatas
Karena memerlukan lahan yang lebih luas per unit, apartemen low rise cenderung ditemukan di pinggiran kota besar—BSD, Sentul, Sleman, dan sejenisnya. Buat commuter yang kerja di pusat kota, ini bisa jadi tantangan jarak.
2. Kurangnya Layanan dan Fasilitas Premium
Beberapa low rise tidak punya fasilitas sebanyak high-rise—seperti sky garden, concierge 24 jam, atau lift cepat. Tapi, tergantung pengembang, ini bisa bervariasi.
3. Kurang Dilirik Investor
Untuk kamu yang berpikir beli untuk investasi atau disewakan, apartemen low rise kadang kalah bersaing secara ROI dibanding tower tinggi di pusat kota. Penyewa cenderung mencari lokasi strategis, bukan hanya suasana tenang.
4. Kurangnya Peraturan Teknis di Indonesia
Meski popularitasnya naik, regulasi terkait pengembangan dan izin bangunan low rise masih belum sekuat hunian vertikal besar. Ini berdampak ke proses legalitas, IMB, atau izin pemanfaatan lahan di beberapa daerah.
Namun, jika kamu mencari hunian pertama untuk ditempati sendiri, bukan investasi jangka pendek, maka low rise bisa jadi pilihan yang sangat masuk akal. Terutama untuk gaya hidup hybrid dan remote yang kini semakin umum.
Inspirasi Low Rise di Dalam dan Luar Negeri: Bukti Bahwa “Rendah” Bisa Elegan
Di luar negeri, konsep low rise bukan hal baru. Bahkan di kota-kota padat seperti Tokyo, Copenhagen, atau Melbourne, banyak distrik menolak pembangunan high-rise dan justru merancang zona low-rise yang artistik, ramah pejalan kaki, dan sangat nyaman ditinggali.
1. Nakagin Capsule Tower (Tokyo, meski kini dihancurkan)
Ini contoh ekstrem: bangunan modular rendah yang memperkenalkan konsep efisiensi ruang tinggi dengan ketinggian terbatas. Sangat visioner di masanya.
2. Bo01 Housing District (Malmö, Swedia)
Kawasan hunian berkonsep sustainability dengan apartemen low rise yang dikelilingi taman dan area publik interaktif.
3. Project Pasar Minggu (Jakarta)
Beberapa pengembang lokal mulai bereksperimen dengan desain low-rise tropis minimalis, menyasar segmen milenial yang ingin tinggal dekat pusat kota tapi tanpa hiruk-pikuk.
4. Cemara House Bandung
Proyek komunitas tinggal-kecil (co-living low rise) yang menggabungkan arsitektur modern, taman terbuka, dan ruang komunitas bersama.
Dan bukan hanya soal tampilan. Di dunia arsitektur, bangunan rendah punya efisiensi energi lebih baik, sirkulasi udara alami yang maksimal, dan footprint karbon yang lebih rendah.
Seorang arsitek muda bernama Reinaldi—yang saya temui di forum desain—bilang, “Kalau saya boleh pilih, saya lebih suka bangun untuk 4 lantai daripada 40. Skala bangunan rendah itu lebih manusiawi. Kita bisa mendesain bukan hanya struktur, tapi hubungan antar-penghuni.”
Masa Depan Apartemen Low Rise: Solusi Urban Tanpa Kehilangan Akar Sosial
Pandemi membuat banyak orang mempertanyakan ulang cara mereka tinggal. High-rise dengan lift ramai, koridor sempit, dan balkon minim mulai ditinggalkan. Muncul kebutuhan baru: ruang tinggal yang sehat, tenang, dan terasa seperti rumah.
Di situlah apartemen low rise menjawab keresahan.
Kombinasi antara skala kecil, arsitektur human-centered, dan fleksibilitas ruang menjadikan konsep ini relevan untuk gaya hidup masa kini. Apalagi buat mereka yang bekerja remote, homeschooling, atau sekadar ingin slow living di kota yang padat.
Pengembang mulai sadar. Beberapa proyek baru bahkan mengusung konsep “compact living meets community life”. Artinya: unitnya efisien, tapi ada banyak ruang bersama—mulai dari dapur komunal, taman hidroponik, sampai ruang kerja bersama di lantai dasar.
Dan jangan lupakan faktor ekonomi. Banyak apartemen low rise yang lebih terjangkau dari tower konvensional karena tidak butuh lift berlapis, sistem pipa kompleks, atau operasional maintenance tinggi.
Dengan potensi ini, jangan kaget kalau dalam 5–10 tahun ke depan, istilah “low rise” akan lebih sering kamu dengar—baik sebagai pilihan hunian maupun simbol gaya hidup baru: lebih tenang, lebih sadar, lebih manusiawi.
Penutup: Membangun Tinggi Itu Hebat, Tapi Membuat Nyaman Itu Lebih Berarti
Apartemen low rise adalah wujud dari pertanyaan: “Benarkah kita butuh tinggal setinggi itu untuk merasa nyaman?” Dan jawabannya, mungkin tidak.
Karena kadang, kenyamanan bukan datang dari ketinggian atau fasilitas mewah, tapi dari keseimbangan antara ruang dan rasa.
Di dunia yang semakin vertikal, low rise mengajak kita untuk melihat ke depan tanpa melupakan tanah tempat kaki berpijak. Hunian modern tak harus mencakar langit. Kadang, cukup berdiri kokoh 3 lantai saja—tapi memeluk penghuninya dengan hangat setiap hari.
Baca Juga Artikel dari: Rumah Prefab: Solusi Hunian Modern yang Hemat Waktu dan Biaya
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Seputar Residence